Home

Info Terkini

Thursday, June 20, 2013

Pencapaian Pendidikan Keaksaraan Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diundangkan memiliki tiga jalur sebagai wahana pencapaian tujuan. Secara ideal, ketiga jalur tersebut mendapat perhatian sepadan, bahkan pemerintah tidak memilah dan membedakan ketiga jalur pendidikan tersebut. Namun beragam keterbatasan dimiliki pemerintah dalam menghantarkan ketiga jalur tersebut sebagai inti layanan pendidikan bagi seluruh rakyat. Diiringi persepsi dan kebiasaan masyarakat terhadap layanan pendidikan, tidak mengherankan apabila diantara ketiga jalur layanan tersebut, pendidikan sekolah lebih menyita perhatian termasuk kebijakan pengembangan dan penetapan program. Kondisi tersebut selain menciptakan ketimpangan juga menyemai ketidakadilan perlakuan baik terhadap penyelenggara, sasaran dan program pendidikan.

Kalau pun ketiga jalur memiliki keunggulan masing-masing, seyogyanya karakteristik masing-masing mendapat porsi perhatian seperti paket kebijakan yang sesuai. Paparan karakteristik jalur pendidikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai dasar memahami tulisan ini adalah a) Jalur Pendidikan Formal (PF) b) Jalur Pendidikan Non Formal (PNF) dan c) Jalur Pendidikan In Formal (PIF)


Hingga pergantian kabinet menyusul keruntuhan orde baru, PF masih memegang kunci dalam menetapkan arah dan acuan pendidikan nasional. Bahkan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan kebijakan berkiblat pada pendidikan formal menjadi porsi terbesar anggaran belanja pendidikan. Selain itu, ketimpangan dapat dilihat dari jumlah bidang yang menangani pendidikan formal, dibanding dua jalur pendidikan yang lain.

Sebut saja tingkatan direktorat jenderal membidangi setiap jenjang pendidikan formal; direktorat jenderal pendidikan dasar, direktorat jenderal menengah dan lanjutan, dan direktorat jenderal pendidikan tinggi. Berbeda dengan jenjang urusan jalur pendidikan non formal yang hanya ditangani cukup direktorat jenderal Pendidikan luar sekolah (sekarang PAUDNI) membawahi direktorat pendidikan usia dini, pendidikan masyarakat, dan direktorat kursus. Direktorat Pendidikan Masyarakat yang menangani pemberantasan buta aksara, kejar Paket A, kejar Paket B, dan kemudian Paket C jelas tidak seimbang dibandingkan dengan porsi ketiga direktorat jenderal pendidikan dasar, pendidikan menengah dan lanjutan pada jalur pendidikan formal. Pengelompokkan urusan dan pembagian bidang kerja yang tidak seimbang diantara dua jalur layanan pendidikan, telah menyebabkan upaya pendidikan di luar sekolah tidak menempatkan lebih dari sekedar ‘menambal’ pendidikan sekolah. Manakala pendidikan sekolah dianggap gagal, pendidikan di luar sekolah tetap tidak dapat memberikan sumbangan sebagai aktor yang berperan dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat.

Dalam perkembangan berikutnya, meskipun dilakukan pembenahan di jalur direktorat jenderal ‘pendidikan formal’, perubahan ini belum memberikan dampak terhadap kiprah pendidikan non formal sejalan dengan pandangan sebelah mata yang diberikan terhadap pendidikan non formal. Penyelenggaraan pendidikan nasional seperti ini tidak lepas dari pandangan politik yang berlaku.
Penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan berujung pada permasalahan kapasitas dan karakteristik tingkat pendidikan milik masyarakat. Sehingga pangkal masalah berujung pada bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan ketangguhan masyarakat. Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi dengan pembangunan) dalam pendidikan penduduknya (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, 1984:79).

Kegagalan dunia pendidikan yang dikuasai kebijakan jalur formal, dengan mengabaikan potensi pendidikan non formal dan informal telah meniadakan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dan kecerdasan diri mereka sendiri. Pendidikan sebagai syarat penting dan komponen utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata dikendalikan oleh pelaku tunggal seperti pendidikan formal, namun juga harus didukung pelaku lain yaitu pendidikan non formal dan in formal. Kebijakan pendidikan bagi William R. Ewald Jr. (1968:38) An education system is a political phenomenon … taken serious everywhere. Individuals are conviced that they need it, or at least the formal indicia of it … means of attaining power and prosperity.

Kiprah pendidikan terhadap pembangunan dan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat semakin mengemuka dan menyadarkan banyak praktisi pendidikan. Hal ini sejalan dengan kegagalan pendidikan formal yakni sekolah untuk bertindak menjadi pelaku utama, sekolah makin lama makin tidak mampu melaksanakan fungsi mereka sekarang (Shane,1984:20)
Dalam konteks pembangunan secara umum, kesertaan masyarakat dalam proses membangun diri sendiri menjadi kriteria keberhasilan proses pembangunan. Kemandirian dan kematangan masyarakat suatu bangsa yang berakumulasi berperan penting dalam mendukung arah dan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan.

Pendidikan dasar sembilan tahun dengan titik berat pada penguasaan ketermpilan dasar (baca-tulis-hitung) dan pengetahuan dasar meliputi pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan lingkungan alam – sosial – budaya, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan agama (Moegiadi,1992:6) masih belum memenuhi kebutuhan untuk menjadikan bangsa yang besar dan beraneka ragam suku serta budaya seperti Indonesia untuk bertahan di tengah hempasan krisis moneter disusul dampak globalisasi.

Hasil proses pendidikan tidak saja sekedar mensyaratkan keterampilan, pengetahuan dan sikap minimal, bahkan mencakup the behavior and achievements as they function as citizen (Kaufman,1972:10). Dengan demikian, proses pendidikan yang mengutamakan keaksaraan dasar (baca-tulis-hitung) dapat ditransformasikan menjadi keaksaraan lanjutan dengan berbagai muatan sebagaimana isu yang menjadi perhatikan masyarakat seperti lingkungan.

No comments:

Post a Comment