Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diundangkan memiliki tiga
jalur sebagai wahana pencapaian tujuan. Secara ideal, ketiga jalur
tersebut mendapat perhatian sepadan, bahkan pemerintah tidak memilah dan
membedakan ketiga jalur pendidikan tersebut. Namun beragam keterbatasan
dimiliki pemerintah dalam menghantarkan ketiga jalur tersebut sebagai
inti layanan pendidikan bagi seluruh rakyat. Diiringi persepsi dan
kebiasaan masyarakat terhadap layanan pendidikan, tidak mengherankan
apabila diantara ketiga jalur layanan tersebut, pendidikan sekolah lebih
menyita perhatian termasuk kebijakan pengembangan dan penetapan
program. Kondisi tersebut selain menciptakan ketimpangan juga menyemai
ketidakadilan perlakuan baik terhadap penyelenggara, sasaran dan program
pendidikan.
Kalau pun ketiga jalur memiliki keunggulan masing-masing,
seyogyanya karakteristik masing-masing mendapat porsi perhatian seperti
paket kebijakan yang sesuai. Paparan karakteristik jalur pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai dasar memahami tulisan
ini adalah a) Jalur Pendidikan Formal (PF) b) Jalur Pendidikan Non
Formal (PNF) dan c) Jalur Pendidikan In Formal (PIF)
Hingga pergantian kabinet menyusul keruntuhan orde baru, PF masih
memegang kunci dalam menetapkan arah dan acuan pendidikan nasional.
Bahkan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan kebijakan berkiblat
pada pendidikan formal menjadi porsi terbesar anggaran belanja
pendidikan. Selain itu, ketimpangan dapat dilihat dari jumlah bidang
yang menangani pendidikan formal, dibanding dua jalur pendidikan yang
lain.
Sebut saja tingkatan direktorat jenderal membidangi setiap jenjang
pendidikan formal; direktorat jenderal pendidikan dasar, direktorat
jenderal menengah dan lanjutan, dan direktorat jenderal pendidikan
tinggi. Berbeda dengan jenjang urusan jalur pendidikan non formal yang
hanya ditangani cukup direktorat jenderal Pendidikan luar sekolah
(sekarang PAUDNI) membawahi direktorat pendidikan usia dini, pendidikan
masyarakat, dan direktorat kursus. Direktorat Pendidikan Masyarakat yang
menangani pemberantasan buta aksara, kejar Paket A, kejar Paket B, dan
kemudian Paket C jelas tidak seimbang dibandingkan dengan porsi ketiga
direktorat jenderal pendidikan dasar, pendidikan menengah dan lanjutan
pada jalur pendidikan formal. Pengelompokkan urusan dan pembagian bidang
kerja yang tidak seimbang diantara dua jalur layanan pendidikan, telah
menyebabkan upaya pendidikan di luar sekolah tidak menempatkan lebih
dari sekedar ‘menambal’ pendidikan sekolah. Manakala pendidikan sekolah
dianggap gagal, pendidikan di luar sekolah tetap tidak dapat memberikan
sumbangan sebagai aktor yang berperan dalam mencerdaskan bangsa dan
masyarakat.
Dalam perkembangan berikutnya, meskipun dilakukan pembenahan di
jalur direktorat jenderal ‘pendidikan formal’, perubahan ini belum
memberikan dampak terhadap kiprah pendidikan non formal sejalan dengan
pandangan sebelah mata yang diberikan terhadap pendidikan non formal.
Penyelenggaraan pendidikan nasional seperti ini tidak lepas dari
pandangan politik yang berlaku.
Penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan
berujung pada permasalahan kapasitas dan karakteristik tingkat
pendidikan milik masyarakat. Sehingga pangkal masalah berujung pada
bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan
ketangguhan masyarakat. Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya
secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila telah berhasil memenuhi
minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi dengan pembangunan) dalam
pendidikan penduduknya (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, 1984:79).
Kegagalan dunia pendidikan yang dikuasai kebijakan jalur formal,
dengan mengabaikan potensi pendidikan non formal dan informal telah
meniadakan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dan
kecerdasan diri mereka sendiri. Pendidikan sebagai syarat penting dan
komponen utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata
dikendalikan oleh pelaku tunggal seperti pendidikan formal, namun juga
harus didukung pelaku lain yaitu pendidikan non formal dan in formal.
Kebijakan pendidikan bagi William R. Ewald Jr. (1968:38) An
education system is a political phenomenon … taken serious everywhere.
Individuals are conviced that they need it, or at least the formal
indicia of it … means of attaining power and prosperity.
Kiprah pendidikan terhadap pembangunan dan peningkatan derajat
kesejahteraan masyarakat semakin mengemuka dan menyadarkan banyak
praktisi pendidikan. Hal ini sejalan dengan kegagalan pendidikan formal
yakni sekolah untuk bertindak menjadi pelaku utama, sekolah makin lama
makin tidak mampu melaksanakan fungsi mereka sekarang (Shane,1984:20)
Dalam konteks pembangunan secara umum, kesertaan masyarakat dalam
proses membangun diri sendiri menjadi kriteria keberhasilan proses
pembangunan. Kemandirian dan kematangan masyarakat suatu bangsa yang
berakumulasi berperan penting dalam mendukung arah dan keberhasilan
penyelenggaraan pembangunan.
Pendidikan dasar sembilan tahun dengan titik berat pada penguasaan
ketermpilan dasar (baca-tulis-hitung) dan pengetahuan dasar meliputi
pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan lingkungan alam –
sosial – budaya, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan agama
(Moegiadi,1992:6) masih belum memenuhi kebutuhan untuk menjadikan bangsa
yang besar dan beraneka ragam suku serta budaya seperti Indonesia untuk
bertahan di tengah hempasan krisis moneter disusul dampak globalisasi.
Hasil proses pendidikan tidak saja sekedar mensyaratkan
keterampilan, pengetahuan dan sikap minimal, bahkan mencakup the
behavior and achievements as they function as citizen (Kaufman,1972:10).
Dengan demikian, proses pendidikan yang mengutamakan keaksaraan dasar
(baca-tulis-hitung) dapat ditransformasikan menjadi keaksaraan lanjutan
dengan berbagai muatan sebagaimana isu yang menjadi perhatikan
masyarakat seperti lingkungan.
No comments:
Post a Comment