Home

Info Terkini

Thursday, June 20, 2013

Pendidikan Keaksaraan (Literacy) sebagai Arus Utama

Hal ini secara implisit menjadi hak mendapatkan pendidikan yang secara eksplisit melekat pada anak dan orang dewasa, sebagaimana dicantumkan konvensi internasional, termasuk deklarasi PBB. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang memuat hak untuk mendapatkan pendidikan misalnya. Serta beberapa konvensi internasional lainnya, antara lain konvensi untuk melakukan tindakan sipil dan menyatakan hak politik, begitu pula dengan konvensi bidang ekonomi, sosial dan hak budaya yang disepakati tahun 1966. Semuanya menjadi sumber Deklrasi Hak Asasi PBB, termasuk di dalamnya konvensi 1979 mengenai pencegahan tindakan dikriminasi bagi wanita dan konvensi hak hidup anak 1989. Tahun 1975 menjelang deklarasi inti diterima, keaksaraan menjadi sorotan utama dibandingkan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan itu sendiri. Tahun 1960 ditetapkan konvensi terhadap dikriminasi dalam pendidikan khususnya bagi tiap orang yang tidak dapat menyelesaikan dan mengikuti jenjang pendidikan dasar. Deklarasi Persepolis menuliskan: Keaksaraan bukan berakhir pada penguasaan, tetapi merupakan hak dasar manusia (UNESCO, 1975a). Baik Konvensi Hak Anak (CRC) dan Anti Perlakuan Dikriminasi terhadap Wanita (CEDAW), keduanya mengisyaratkan promosi keaksaraan dan pemberantasan ke-niraksara-an. Misalnya Ayat 10(e) CEDAW yang diterapkan 1981 menegaskan hak orang dewasa untuk melek huruf, dengan melibatkan berbagai elemen untuk memberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan berkelanjutan, seperti program keaksaraan fungsional dan pendidikan orang dewasa. Sedangkan CRC menenggarai keaksaraan sebagai keterampilan pokok dimana setiap anak harus dilibatkan dan ditekankan pada kebutuhan untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan melalui keaksaraan (UNHCR, 1989). Tujuan strategis deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 adalah memberantas buta aksara perempuan.

Deklarasi Anti Dikriminasi Pendidikan (CDE) menggarisbawahi dukungan dan peningkatan metode pendidikan yang sesuai bagi setiap orang yang belum mendapat layanan pendidikan dasar bahkan mereka yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara lengkap serta kelangsungan pendidikan mereka sesuai kapasitas pribadi (UNESCO, 2005). CDE selanjutnya menuntut peningkatan kesempatan keaksaraan melalui pendidikan berkelanjutan.

Banyak tuntutan yang mensyaratkan pembaruan hak atas keaksaraan. Resolusi 11 deklarasi Hamburg menyatakan: ‘keaksaraan, secara umum dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam menyikapi perubahan dunia, dan karenanya menjadi hak fundamental seseorang’ (UNESCO, 1977) Laporan konferensi meja bundar UNESCO Keaksaraan sebagai bentuk Kebebasan merekomendasikan bahwa keaksaraan merupakan kerangka dasar pendekatan dan prinsip pengembangan masyarakat (UNESCO, 2005).

Berbeda dari hak keaksaraan yang diusung berbagai pertemuan dan deklarasi, pengertian hak dalam batasan pemberatasan niraksara, sebagaimana CEDAW dan deklarasi Beijing, menyatakan persamaan keaksaraan dengan pengetahuan dan ke-niraksara-an sebagai kebodohan. Keaksaraan pun sebagai bentuk hak mendapat pendidikan dipandang sebagai seperangkat keterampilan pokok pendidikan dasar atau fundamental, sebagaimana disyaratkan CDE.

Sebagaimana dirintis UNESCO, pengertian ‘pendidikan fundamental’ menyiratkan kemampuan membaca, menulis dan menghitung dengan penekanan pada membaca dan menulis (UNESCO, 2005). Sementara menghitung biasanya hanya dijadikan bagian pelengkap formal saja, kata ‘keaksaraan’ sendiri umumnya membatasi diri pada keterampilan membaca dan menulis.

Bagian 1 pendahuluan CRC (ayat 29), misalnya, mengemukakan bahwa ‘keterampilan dasar mencakup tidak hanya keaksaraan dan berhitung tetapi juga life skills [Keterampilan Hidup, pen.]. Dalam kaitan ini, ‘keaksaraan; masih diartikan membaca dan menulis semata.

Deklarasi global pendidikan untuk semua (Jomtien, Thailand, 1990) butir 1.1. merumuskan ‘keaksaraan, komunikasi lisan, berhitung, dan pemecahan masalah menjadi bagian penting pendidikan yang memperkaya pemenuhan kebutuhan belajar mendasar setiap orang. Gagasan pokok yang menyatakan keaksaraan sebagai kemampuan membaca dan menulis bersumber pada materi pelajaran bahasa yang memungkinkan seseorang belajar menulis dan membaca. Hak mendapat kesempatan belajar bahasa sama sekali berbeda dengan kesempatan belajar yang ditawarkan melalui bahasa. Butir 27 ICCPR menyatakan lebih lanjut hak warga minoritas untuk menggunakan bahasa mereka; hal ini termasuk pengertian menggunakan bahasa minoritas mereka dalam pergaulan sehari-hari yang terbatas. Peraturan internasional mengijinkan setiap negara menggunakan bahasa resmi kenegaraan masing-masing. Begitu pula sekolah umum dapat menggunakan bahasa resmi tersebut di samping bahasa daerah setempat.

Di Namibia misalnya, program keaksaraan ditempuh dalam tiga tingkatan, kelas pertama dan dua menggunakan bahasa ibu, dan kelas tiga memakai bahasa Inggris bagi pemula, sehinga warga belajar dengan kemampuan keaksaraan berbeda dapat mengikuti seluruh proses pendidikan. Kenyataan pendidikan umum hanya menggunakan bahasa resmi sebagai pengantar, hal ini bisa dikaitan dengan hakekat asasi yakni keragaman dalam pendidikan, termasuk bahasa dalam menyampaikan bahan pelajaran, termasuk jaminan kesempatan mengembangkan sekolah khusus. Perkembangan tuntutan pendidikan formal dwi-bahasa telah memberikan dampak terhadap program pemuda dan orang dewasa dalam pendidikan non formal.

Banyak tulisan, termasuk persepolis dan deklarasi hamburg, mensyaratkan wawasan keaksaraan secara lebih luas dari sekedar kemampuan baca dan tulis saja. Keaksaraan juga melingkupi akses terhadap ilmu pengetahuan dan tehnik, penguasaan informasi termasuk menikmati manfaat budaya dan penggunaan media, baik itu untuk meningkatkan kemampuan diri dalam bekerja atau tidak sama sekali. Keaksaraan juga mencakup batasan pendidikan fundamental, kemajemukan life skill untuk beragam situasi; sebagai contoh, butir 22 konvensi berkenaan dengan pengungsi yang menjamin setiap pengungsi memperoleh perlakukan sama di tiap negara yang ditinggali setingkat pendidikan dasar. Selain itu, keaksaraan menjadi alat pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus meningkatkan peran serta dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi, khususnya bagi anggota masyarakat di daerah tertinggal. Perhatian pada pengembangan pendidikan seumur hidup secara inklusif menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hidup universal dan hak keaksaraan.

Sebagai tambahan, peningkatan keaksaraan pun ditopang kegiatan bidang teknologi, keterlibatan masyarakat sipil dan belajar sepanjang hayat. UNESCO senantiasa menciptakan dukungan untuk penyebaran informasi, menumbuhkembangkan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan mendayagunakan keragaman budaya dan bahasa. Program bantuan PBB (UNDP) menyatakan bahwa penguasaan pengetahuan, kesempatan mendayagunakan potensi untuk meningkatkan standar kehidupan serta berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan prasyarat mutlak pembangunan umat manusia. Pemanfaatan wahana ini, kemampuan dan beragam potensi sumber daya akan menjamin perkembangan keaksaraan.

Keaksaraan dengan sendirinya sangat erat berkaitan dengan upaya pendidikan berkelanjutan atau belajar sepanjang hayat. Akhirnya, keaksaraan dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu hal mutlak melainkan sebagai mekanisme untuk mencapai hak asasi, hanya hak asasi mendapatkan pendidikan sebagai satu-satunya alat memerangi keniraksaraan. Oleh karena itu keaksaraan harus didukung sebagai mainstream pendidikan melengkapi kecakapan hidup dan gender yang telah ditetapak lebih awal.

No comments:

Post a Comment