Hal ini secara implisit menjadi hak mendapatkan pendidikan yang
secara eksplisit melekat pada anak dan orang dewasa, sebagaimana
dicantumkan konvensi internasional, termasuk deklarasi PBB. Deklarasi
Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang memuat hak untuk mendapatkan
pendidikan misalnya. Serta beberapa konvensi internasional lainnya,
antara lain konvensi untuk melakukan tindakan sipil dan menyatakan hak
politik, begitu pula dengan konvensi bidang ekonomi, sosial dan hak
budaya yang disepakati tahun 1966. Semuanya menjadi sumber Deklrasi Hak
Asasi PBB, termasuk di dalamnya konvensi 1979 mengenai pencegahan
tindakan dikriminasi bagi wanita dan konvensi hak hidup anak 1989.
Tahun 1975 menjelang deklarasi inti diterima, keaksaraan menjadi
sorotan utama dibandingkan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan itu
sendiri. Tahun 1960 ditetapkan konvensi terhadap dikriminasi dalam
pendidikan khususnya bagi tiap orang yang tidak dapat menyelesaikan dan
mengikuti jenjang pendidikan dasar. Deklarasi Persepolis menuliskan:
Keaksaraan bukan berakhir pada penguasaan, tetapi merupakan hak dasar
manusia (UNESCO, 1975a). Baik Konvensi Hak Anak (CRC) dan Anti Perlakuan
Dikriminasi terhadap Wanita (CEDAW), keduanya mengisyaratkan promosi
keaksaraan dan pemberantasan ke-niraksara-an. Misalnya Ayat 10(e) CEDAW
yang diterapkan 1981 menegaskan hak orang dewasa untuk melek huruf,
dengan melibatkan berbagai elemen untuk memberikan kesempatan yang sama
dalam pendidikan berkelanjutan, seperti program keaksaraan fungsional
dan pendidikan orang dewasa. Sedangkan CRC menenggarai keaksaraan
sebagai keterampilan pokok dimana setiap anak harus dilibatkan dan
ditekankan pada kebutuhan untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan
melalui keaksaraan (UNHCR, 1989). Tujuan strategis deklarasi dan
Kerangka Aksi Beijing 1995 adalah memberantas buta aksara perempuan.
Deklarasi Anti Dikriminasi Pendidikan (CDE) menggarisbawahi
dukungan dan peningkatan metode pendidikan yang sesuai bagi setiap orang
yang belum mendapat layanan pendidikan dasar bahkan mereka yang tidak
dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara lengkap serta kelangsungan
pendidikan mereka sesuai kapasitas pribadi (UNESCO, 2005). CDE
selanjutnya menuntut peningkatan kesempatan keaksaraan melalui
pendidikan berkelanjutan.
Banyak tuntutan yang mensyaratkan pembaruan hak atas keaksaraan.
Resolusi 11 deklarasi Hamburg menyatakan: ‘keaksaraan, secara umum
dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan
dalam menyikapi perubahan dunia, dan karenanya menjadi hak fundamental
seseorang’ (UNESCO, 1977) Laporan konferensi meja bundar UNESCO
Keaksaraan sebagai bentuk Kebebasan merekomendasikan bahwa keaksaraan
merupakan kerangka dasar pendekatan dan prinsip pengembangan masyarakat
(UNESCO, 2005).
Berbeda dari hak keaksaraan yang diusung berbagai pertemuan dan
deklarasi, pengertian hak dalam batasan pemberatasan niraksara,
sebagaimana CEDAW dan deklarasi Beijing, menyatakan persamaan keaksaraan
dengan pengetahuan dan ke-niraksara-an sebagai kebodohan. Keaksaraan
pun sebagai bentuk hak mendapat pendidikan dipandang sebagai seperangkat
keterampilan pokok pendidikan dasar atau fundamental, sebagaimana
disyaratkan CDE.
Sebagaimana dirintis UNESCO, pengertian ‘pendidikan fundamental’
menyiratkan kemampuan membaca, menulis dan menghitung dengan penekanan
pada membaca dan menulis (UNESCO, 2005). Sementara menghitung biasanya
hanya dijadikan bagian pelengkap formal saja, kata ‘keaksaraan’ sendiri
umumnya membatasi diri pada keterampilan membaca dan menulis.
Bagian 1 pendahuluan CRC (ayat 29), misalnya, mengemukakan bahwa
‘keterampilan dasar mencakup tidak hanya keaksaraan dan berhitung tetapi
juga life skills [Keterampilan Hidup, pen.]. Dalam kaitan ini,
‘keaksaraan; masih diartikan membaca dan menulis semata.
Deklarasi global pendidikan untuk semua (Jomtien, Thailand, 1990)
butir 1.1. merumuskan ‘keaksaraan, komunikasi lisan, berhitung, dan
pemecahan masalah menjadi bagian penting pendidikan yang memperkaya
pemenuhan kebutuhan belajar mendasar setiap orang. Gagasan pokok yang
menyatakan keaksaraan sebagai kemampuan membaca dan menulis bersumber
pada materi pelajaran bahasa yang memungkinkan seseorang belajar menulis
dan membaca. Hak mendapat kesempatan belajar bahasa sama sekali berbeda
dengan kesempatan belajar yang ditawarkan melalui bahasa. Butir 27
ICCPR menyatakan lebih lanjut hak warga minoritas untuk menggunakan
bahasa mereka; hal ini termasuk pengertian menggunakan bahasa minoritas
mereka dalam pergaulan sehari-hari yang terbatas. Peraturan
internasional mengijinkan setiap negara menggunakan bahasa resmi
kenegaraan masing-masing. Begitu pula sekolah umum dapat menggunakan
bahasa resmi tersebut di samping bahasa daerah setempat.
Di Namibia misalnya, program keaksaraan ditempuh dalam tiga
tingkatan, kelas pertama dan dua menggunakan bahasa ibu, dan kelas tiga
memakai bahasa Inggris bagi pemula, sehinga warga belajar dengan
kemampuan keaksaraan berbeda dapat mengikuti seluruh proses pendidikan.
Kenyataan pendidikan umum hanya menggunakan bahasa resmi sebagai
pengantar, hal ini bisa dikaitan dengan hakekat asasi yakni keragaman
dalam pendidikan, termasuk bahasa dalam menyampaikan bahan pelajaran,
termasuk jaminan kesempatan mengembangkan sekolah khusus. Perkembangan
tuntutan pendidikan formal dwi-bahasa telah memberikan dampak terhadap
program pemuda dan orang dewasa dalam pendidikan non formal.
Banyak tulisan, termasuk persepolis dan deklarasi hamburg,
mensyaratkan wawasan keaksaraan secara lebih luas dari sekedar kemampuan
baca dan tulis saja. Keaksaraan juga melingkupi akses terhadap ilmu
pengetahuan dan tehnik, penguasaan informasi termasuk menikmati manfaat
budaya dan penggunaan media, baik itu untuk meningkatkan kemampuan diri
dalam bekerja atau tidak sama sekali. Keaksaraan juga mencakup batasan
pendidikan fundamental, kemajemukan life skill untuk beragam situasi;
sebagai contoh, butir 22 konvensi berkenaan dengan pengungsi yang
menjamin setiap pengungsi memperoleh perlakukan sama di tiap negara yang
ditinggali setingkat pendidikan dasar. Selain itu, keaksaraan menjadi
alat pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus meningkatkan peran serta dalam
bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi, khususnya bagi anggota
masyarakat di daerah tertinggal. Perhatian pada pengembangan pendidikan
seumur hidup secara inklusif menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap
kebutuhan hidup universal dan hak keaksaraan.
Sebagai tambahan, peningkatan keaksaraan pun ditopang kegiatan
bidang teknologi, keterlibatan masyarakat sipil dan belajar sepanjang
hayat. UNESCO senantiasa menciptakan dukungan untuk penyebaran
informasi, menumbuhkembangkan teknologi komunikasi untuk menjembatani
dan mendayagunakan keragaman budaya dan bahasa. Program bantuan PBB
(UNDP) menyatakan bahwa penguasaan pengetahuan, kesempatan
mendayagunakan potensi untuk meningkatkan standar kehidupan serta
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan prasyarat mutlak
pembangunan umat manusia. Pemanfaatan wahana ini, kemampuan dan beragam
potensi sumber daya akan menjamin perkembangan keaksaraan.
Keaksaraan dengan sendirinya sangat erat berkaitan dengan upaya
pendidikan berkelanjutan atau belajar sepanjang hayat. Akhirnya,
keaksaraan dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu hal mutlak
melainkan sebagai mekanisme untuk mencapai hak asasi, hanya hak asasi
mendapatkan pendidikan sebagai satu-satunya alat memerangi
keniraksaraan. Oleh karena itu keaksaraan harus didukung sebagai
mainstream pendidikan melengkapi kecakapan hidup dan gender yang telah
ditetapak lebih awal.
No comments:
Post a Comment